Kelompok Studi Mahasiswa Melawan Orde Baru
Selasa, 6 Mei 2025 11:25 WIB
Reformasi Mei 1998 merupakan hasil dari narasi panjang dari gerakan mahasiswa
***
Setiap memasuki bulan Mei, ingatan kolektif bangsa Indonesia senantiasa tertuju pada peristiwa politik 27 tahun silam, tepatnya Reformasi 1998 atau runtuhnya bangunan politik rezim Orde Baru oleh gerakan mahasiswa. Peristiwa Mei 1998 sejatinya tidak sekadar pergantian rezim atau penguasa, tetapi perubahan sistem politik dari otoriter-totaliter ke sistem demokrasi, atau peralihan dari era ketertutupan ke masa keterbukaan.
Reformasi tahun 1998 membuktikan mahasiswa untuk kesekian kalinya menjadi lokomotif perubahan politik di negeri ini, peran kelompok kelas menengah perkotaan seperti hukum besi sejarah, mereka senantiasa mengambil peran politik ketika kelompok lain di tengah-tengah masyarakat belum tersadarkan akan adanya stagnasi atau kemandekan di dalam tubuh pemerintahan.
Tengok saja pada tahun 1920-an kelompok mahasiswa dan pemuda menggagas organisasi pergerakan modern, di dalam melawan kolonialisme-imperialisme Belanda, menggantikan perlawanan bersifat sporadis, sebelumnya perlawanan itu menyebar atau tidak merata di berbagai tempat, melalui pembentukan organisasi modern ini gerakan mahasiswa bertujuan mempersatukan berbagai perlawanan ke dalam satu tarikan napas, yaitu satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa. Kemudian pada tahun 1940-an gerakan mahasiswa dan pemuda bermetamorfosa dari gerakan pemikiran ke gerakan fisik bersenjata, turut bergerilya melawan penjajah Belanda, yang kembali ke Indonesia pasca dibacakannya teks proklamasi 1945.
Begitu juga tahun 1960-an kelompok mahasiswa berani mengambil posisi berhadap-hadapan dengan sistem demokrasi terpimpin, yang mereka nilai sudah sangat jauh melenceng dari karakteristik sistem demokrasi modern.
Pertama, praktik pengangkatan Presiden Soekarno sebagai presiden seumur hidup, hal ini mencederai prinsip dasar demokrasi tentang sirkulasi kepemimpinan nasional yang berkala. Kedua, pembubaran DPR RI yang merupakan hasil dari Pemilu 1955, digantikan DPR Gotong Royong, dimana anggota DPR Gotong Royong itu dipilih melalui proses penunjukan dan pengangkatan tanpa melalui proses pemilu, penyebab pembubaran disebabkan lembaga perwakilan itu menolak RAPBN ajuan dari eksekutif. Ketiga, pembubaran partai politik yang menimpa Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan Partai Masyumi. Keempat, pelarangan beberapa media yang kritis pada kebijakan pemerintah seperti Koran Abadi dan Koran Pedoman. Kelima, peristiwa Gerakan 30 September 1965, ketidaktegasan sikap Presiden Soekarno kepada Partai Komunis Indonesia (PKI) (Gaffar, 2006).
Sedangkan di masa Pemerintahan Orde Baru peran mahasiswa tidak berubah, tetap menjadi kekuatan pengontrol jalannya roda kekuasaan, hal ini dapat dilihat dari beberapa peristiwa politik yang terjadi sepanjang Presiden Soeharto berkuasa.
Pertama, peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) perlawanan atas dominasi modal asing, aksi berupa longmarch ribuan mahasiswa yang di awali dari kampus Universitas Indonesia (UI), Salemba menuju kampus Universitas Trisakti di Grogol, aksi itu dilakukan sebagai bentuk protes atas kedatangan Perdana Menteri Jepang Tanaka ke Indonesia, dinilai mahasiswa intervensi modal asing itu akan merusak kemandirian kita sebagai bangsa, aksi damai berubah menjadi kerusuhan massal, ketika barisan yang bukan dari kelompok mahasiswa melakukan aksi pengrusakan dan pembakaran (Lasut, 2011).
Kedua, pernyataan Ikrar Mahasiswa Indonesia pada 28 Oktober 1977 di Kampus Institut Teknologi Bandung (ITB), melibatkan Dewan Mahasiswa (DM) seluruh Indonesia, di dalam pernyataannya itu tertulis bahwa DM seluruh Indonesia meminta kepada MPR RI menyelenggarakan sidang istimewa untuk meminta pertanggungjawaban Presiden RI (Hariyadhie, 1995). Ketiga, merespons peristiwa Malari 1974 dan Ikrar Mahasiswa Indonesia 1977, pemerintah Orde Baru mengeluarkan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) dan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK), dua kebijakan memiliki tujuan membatasi sekaligus memberangus kegiatan kritis mahasiswa yang bersinggungan dengan politik (Budiyarso, 2000).
Memasuki periode tahun 1980-an dan 1990-an gerakan mahasiswa Indonesia mengalami pembatasan, disebabkan kebijakan NKK/BKK yang dikeluarkan pemerintah, sehingga para aktivis mahasiswa harus merumuskan format gerakan yang baru, agar tetap bisa beradaptasi di bawah atmosfer sistem politik yang tidak mendukung perkembangan nalar kritis mereka.
Kebijakan NKK/BKK
Merespons Ikrar Mahasiswa Indonesia yang dibacakan di kampus ITB, pemerintah Orde Baru mengambil langkah cepat, membubarkan Dewan Mahasiswa (DM), organisasi intra kampus sepanjang tahun 1970-an menjadi alat sangat efektif di dalam mengkonsolidasi, mengorganisir, serta memobilisasi mahasiswa. Pembekuan Dewan Mahasiswa (DM) ini memutus ketersediaan ruang kreatifitas dan berkegiatan, dampaknya mahasiswa mengalami alienasi dan kehilangan basis organisasinya di dalam kampus.
Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK), kebijakan yang dibuat pemerintah Orde Baru bermaksud “menormalkan” semua aktivitas mahasiswa di dalam kampus, yang di pandang penguasa selama tahun 1970-an berjalan “tidak normal”, para mahasiswa terlalu sibuk menjadi manusia rapat umum, terus mengkritisi kebijakan dari pemerintah, sehingga melupakan jati dirinya sebagai manusia penganalisa, bagi pemerintah ketika itu kehidupan kemahasiswaan sudah terlalu jauh dipengaruhi pemikiran politik praktis, bila dibiarkan berlarut-larut akan membahayakan fondasi kekuasaan pemerintah (Budiyarso, 2000). Sedangkan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK) mengarahkan semua kegiatan kemahasiswaan harus memiliki izin dan sepengetahuan pihak rektorat, artinya berbagai aktivitas mahasiswa mengarah kepada sikap kritis kepada pemerintah, tidak mendapatkan ruang, mahasiswa mengalami depolitisasi secara sistematis (Culla, 1999).
Kebijakan NKK/BKK merupakan strategi penguasa Orde Baru di dalam membatasi serta menghentikan budaya kritis mahasiswa, yang dinilai oleh pemerintah menjadi sumber adanya instabilitas sosial politik. Pemberlakuan NKK/BKK ini telah menghambat regenerasi kepemimpinan yang berkualitas di masa datang, karena biasanya para pemimpin politik itu dilahirkan dari pergerakan kemahasiswaan dan organisasi kepemudaan, dampak dari NKK/BKK menjadikan mahasiswa ketika itu menjadi sangat pragmatis dan egoistis, mereka hanya memikirkan kepentingannya sendiri (Harian Kompas, 27 Agustus 1993).
Kelompok Studi
Ketika di dalam kampus situasi tidak memungkinkan bagi persemaian bibit-bibit kritis, disebabkan ruang gerak mengalami pembatasan, serta dinding-dinding kampus menjelma menjadi mata dan telinga penguasa, maka aktivitas di luar kampus menjadi pilihan bagi aktivis mahasiswa ketika itu.
Mereka mendirikan kelompok studi, yang rutin mengadakan diskusi kritis di berbagai tempat di luar kampus, tempat sering dijadikan arena diskusi adalah kost, kontrakan, atau asrama mahasiswa. Di tempat-tempat inilah di anggap paling aman serta jauh dari tangan kekuasaan negara, sehingga mahasiswa memiliki kebebasan dan kenyamanan untuk mengeluarkan kegelisahan dan pikiran, ketika melihat berbagai penyimpangan pemerintahan Orde Baru.
Para aktivis kelompok studi rajin mengkaji berbagai pemikiran politik, mereka banyak membedah berbagai teori sosial kritis, mendiskusikan teologi pembebasan, teori ketergantungan dari Amerika Latin, pemikiran Tan Malaka, serta gerakan pro demokrasi di Filipina (Gunawan, FX Rudy. Patria, Nezar. Wilson. Sopyan, 2009). Kegandrungan anak-anak muda ketika itu melahap buku-buku bertema perlawanan di nilai para aktivisnya, karena tema itu memberikan inspirasi untuk melawan terhadap hegemoni negara. Meskipun banyak melahap buku-buku bertema revolusioner, gerakan kelompok studi sejatinya merupakan bentuk protes budaya atas menyempitnya ruang gerak di dalam kampus, sehingga mereka memilih menentang segala bentuk pelarangan dari negara, dengan menciptakan ruang baru yang memiliki perbedaan dengan pemerintah (Rudianto, 2010).
Menurut penuturan Budiman Sudjatmiko, para aktivis mahasiswa menjadikan kelompok studi sebagai salah satu opsi strategi pergerakan mahasiswa.
“Pada saat itu kegiatan diskusi sedang marak sekali dikalangan aktivis mahasiswa, tidak hanya di Yogyakarta, tetapi juga di sejumlah kota lain seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Sejauh yang saya ketahui, kelompok-kelompok diskusi itu juga membangun semacam jaringan komunikasi untuk melakukan apa yang disebut “aksi informasi”, pada saat itu aksi mobilisasi massa (demonstrasi) sama sekali belum mungkin dilakukan. Saya banyak mengkaji tentang gerakan rakyat di berbagai negara Amerika Latin seperti di Nikaragua, El Salvador, dan Cile” (Gunawan, 1999).
Terdapat dua kelompok studi mahasiswa yang semarak ketika itu, kelompok mahasiswa yang mendiskusikan ilmu-ilmu sosial kritis dan kelompok mahasiswa yang mengkaji wacana sosial keagamaan.
Berbeda dengan kelompok pertama, kelompok studi mahasiswa yang mengkaji sosial keagamaan, selain melakukan kegiatan di ruang tertutup seperti kost, kontrakan, dan asrama. Mereka juga menjadikan masjid kampus sebagai tempat dilaksanakannya aktivitas mentoring, kegiatan mereka sering disebut liqo atau usrah, dengan jumlah peserta lima sampai sepuluh orang (Rahmat & Najib, 2001). Selain melakukan kegiatan diskusi bertema spiritual dan ritual keagamaan, kelompok studi mahasiswa keagamaan, juga mengkaji pemikiran Islam politik dari berbagai pergerakan Islam (harakah Islamiyah) di dunia Islam, mereka banyak mengkaji dan mendiskusikan pemikiran para tokoh Ikhwanul Muslimin (Mesir) seperti Hasan al-Banna, Hasan al-Hudhaibi, Umar at-Tilmisani, Muhammad Hamid Abu Nasr, dan Mustafa Mashur (Damanik, 2002).
Selama kegiatan mentoring keislaman sebenarnya terjadi internalisasi nilai-nilai politik kepada mahasiswa, misalnya ketika pemilu di masa Orde Baru yang penuh kecurangan, rekayasa, dan mobilisasi. Kalangan mahasiswa keagamaan ini secara diam-diam memilih aksi tidak memilih atau golput, kesepakatan terorganisir itu terjadi secara diam-diam atau tidak terpublikasi ke publik di Pemilu 1992 dan 1997, dengan menggunakan justifikasi doktrin “Al-Wala” dan “Al-Bara”, dua istilah sangat familiar di kalangan aktifis pergerakan Islam (Rahmat & Najib, 2001). Al-Wala berarti loyalitas, kecintaan, dan dukungan kepada kebenaran, terutama kepada Allah SWT, Rasul-Nya, dan orang-orang beriman, sedangkan Al-Bara berarti berlepas diri, menjauhkan diri dari sesuatu yang merusak keimanan (Huda, 2021).
Kelompok pertama ini kemudian bertransformasi menjadi gerakan melawan pemerintah Orde Baru di tahun 1990-an, dengan membentuk Solidaritas Mahasiswa Indonesia Untuk Demokrasi (SMID) dan Partai Rakyat Demokratik (PRD), sedangkan kelompok kedua, sosial keagamaan membentuk jaringan Lembaga Dakwah Kampus (LDK) yang tersebar dihampir seluruh perguruan tinggi di Indonesia, dari jaringan LDK, kemudian kelompok sosial keagamaan ini mendirikan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), sebagai wadah perlawanan para aktivisnya melawan rezim otoriter-totaliter di akhir kekuasaan Orde Baru.
Penutup
Penguasa bisa menempuh berbagai strategi untuk membungkam suara kritis dari kampus, tetapi mereka lupa terdapat banyak alternatif gerakan bisa ditempuh para aktivis mahasiswa untuk mempertahankan nalar kritis dan independensi gerakan. Panjang umur perlawanan.
Referensi Artikel
- Budiyarso, E. (2000). Menentang Tirani : Aksi Mahasiswa 77/78. Grasindo.
- Culla, A. S. (1999). Patah Tumbuh Hilang Berganti : Sketsa Pergolakan Mahasiswa Dalam Politik dan Sejarah Indonesia 1980-1998. PT. Raja Grafindo Persada.
- Damanik, A. S. (2002). Fenomena Partai Keadilan : Transformasi 20 Tahun Gerakan Tarbiyah Di Indonesia. Teraju.
- Gaffar, A. (2006). Politik Indonesia : Transisi Menuju Demokrasi. Pustaka Pelajar.
- Gunawan, FX Rudy. Patria, Nezar. Wilson. Sopyan, Y. (2009). Menyulut Lahan Kering Perlawanan Gerakan Mahasiswa 1990-an. Spasi & VHR Book.
- Gunawan, F. R. (1999). Budiman Sudjatmiko Menolak Tunduk : Catatan Anak Muda Menentang Tirani. Grasindo.
- (1995). Perspektif Gerakan Mahasiswa 1978 : Dalam Percaturan Politik Nasional. Indorayon Press.
- Huda, M. K. (2021). Al-Wala’ Wal Bara’ . Harakah Books.
- Kebijakan NKK/BKK Perlu Di Tinjau Kembali, (Harian Kompas, Tanggal 27 Agustus 1993).
- Lasut, J. (2011). Malari Kesaksian Seorang Jurnalis Anti ORBA: Melawan Soeharto dan Barisan Jendral Orde Baui. Yayasan Penghayat Keadilan, 2011.
- Rahmat, A., & Najib, M. (2001). Gerakan Perlawanan Dari Masjid Kampus. Purimedia.
- Rudianto, D. (2010). Gerakan Mahasiswa Dalam Perspektif Perubahan Politik Nasional. Golden Terayon Press.

Dosen FISIP Universitas Singaperbangsa Karawang (UNSIKA), Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PD Muhammadiyah Karawang.
0 Pengikut

Toleransi dan Keberagaman dalam Piagam Madinah
Kamis, 29 Mei 2025 16:22 WIB
Kelompok Studi Mahasiswa Melawan Orde Baru
Selasa, 6 Mei 2025 11:25 WIBArtikel Terpopuler